PARADIGMA SOSIAL
Paradigma sosial merupakan kerangka berpikir dalam masyarakat yang menjelaskan bagaimana cara pandang terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan terhadap ilmu atau teori yang ada. Paradigma ini juga menjelaskan bagaimana meneliti dan memahami suatu masalah, serta kriteria pengujian sebagai landasan untuk menjawab masalah.
Secara umum, paradigma diklasifikasikan dalam 2 kelompok yaitu kuantitatif dan kualitatif. Masing-masing paradigma atau pendekatan ini mempunyai kelebihan dan juga kelemahan, sehingga untuk menentukan pendekatan atau paradigma yang akan digunakan dalam melakukan penelitian tergantung pada beberapa hal di antaranya:1. jika ingin melakukan suatu penelitian yang lebih rinci yang menekankan pada aspek detail yang kritis dan menggunakan cara studi kasus, maka pendekatan yang sebaiknya dipakai adalah paradigma kualitatif. Jika penelitian yang dilakukan untuk mendapat kesimpulan umum dan hasil penelitian didasarkan pada pengujian secara empiris, maka sebaiknya digunakan paradigma kuantitatif, dan
2. jika penelitian ingin menjawab pertanyaan yang penerapannya luas dengan obyek penelitian yang banyak, maka paradigma kuantitaif yang lebih tepat, dan jika penelitian ingin menjawab pertanyaan yang mendalam dan detail khusus untuk satu obyek penelitian saja, maka pendekatan naturalis lebih baik digunakan.
Hasil pengamatan dari beberbagai sudut pandang akan memberi kontribusi yang lebih besar jika peneliti dapat menggabungkan kedua paradigma atau pendekatan tersebut. Penggabungan paradigma tersebut dikenal istilah triangulation. Penggabungan kedua pendekatan ini diharapkan dapat memberi nilai tambah atau sinergi tersendiri karena pada hakikatnya kedua paradigma mempunyai keunggulan-keunggulan. Penggabungan kedua pendekatan diharapkan dapat meminimalkan kelemahan-kelemahan yang terdapat dikedua paradigma.
PARADIGMA FAKTA SOSIAL
Dalam paradigma fakta sosial, masyarakat dipandang sebagai kenyataan atau fakta yang berdiri sendiri, terlepas dari persoalan apakah individu-individu menyukainya atau tidak menyukainya. Masyarakat dalam strukturnya, yaitu bentuk pengorganisasian, peraturan, hirarki kekuasaan, perananperanan, nilai-nilai, dan apa yang disebut sebagai pranatapranata sosial, merupakan fakta yang terpisah dari individu, namun mempengaruhi individu tersebut.
Sejak kecil individu-individu sudah masuk dalam perangkap daya paksa masyarakat. Mereka dengan segera akan belajar, bahwa tidak boleh berbuat sekehendaknya melainkan harus selalu melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan masyarakat di seklilingnya. Dengan demikian, dalam kehidupan ini ada kemauan umum yang harus diikuti di atas keinginan-keinginan individual.
Tulisan Emile Durkheim yang menerapkan paradigma fakta sosial menekankan corak obyektif hidup bermasyarakat (Veeger, dkk. 1992). Hidup sosial manusia adalah kenyataan yang berdiri sendiri, yang tidak mungkin dapat dipahami hanya berdasarkan ciri-ciri personal orang yang bersangkutan. Kehidupan sosial memiliki hukumnya, dampaknya, dan akibatnya sendiri. Maka dari itu sosiologi tidak dapat dikembalikan kepada psikologi, walaupun dalam kenyataan ada fakta psikis, tetapi juga ada fakta sosial. Durkheim tidak pula menyangkal bahwa hidup manusia yang bersifat tunggal dan utuh ikut ditentukan oleh ciri-ciri personal. Namun demikian, dia juga menegaskan bahwa kesosialan hidup merupakan unsur otonom yang setidaknya sama nyata seperti keindividualannya.
Hirarki kekuasaan sebagai sebuah fakta sosial, menurut Foucault terjelma karena adanya relasi-relasi kekuatan (force relations), adanya bentuk-bentuk kekuasaan antara sumber dan sasaran kekuasaan (the body), serta sasaran kekuasaan (the social body). Fokus analisis dari pendekatan Foucault adalah pada force relations, sehingga dapat digunakan untuk mengkaji peranan dan dampak dari kekuasaan baik pada tingkat individu maupun masyarakat. Pada perspektif ini, relasi kekuatan berada pada keadaan yang mobil, artinya bahwa relasi kekuatannya bisa berubah-ubah tergantung pada siapa yang berkuasa dan siapa yang menjadi sasaran kekuasaan, namun kekuasaannya itu sendiri akan tetap ada dan tidak bisa dihindari atau dilenyapkan (Hewitt, 1991).
Pengkajian pada makalah ini akan menempatkan peternak sebagai bagian dari masyarakat pedesaan sebagai sasaran kekuasaan, dan yang menjadi penguasa adalah masyarakat atau institusi lain di luar pedesaan. Bentuk-bentuk kekuasaan antara penguasa dan sasaran kekuasaan dapat dalam bentuk penguasaan bidang politik, informasi, ekonomi, perdagangan, ataupun yang lainnya, sehingga analisis dapat diarahkan untuk mengkaji peranan dan dampak kekuasaan tersebut.
Melalui pendekatan ini diharapkan dapat diketahui mengapa peternak sebagai bagian dari masyarakat pedesaan dalam keadaan yang tidak berdaya, walaupun pembangunan yang diarahkan ke pedesaan telah lama berlangsung. Diharapkan pula dengan diketahuinya duduk persoalan masalah di atas dapat dicari alternatif pemecahannya.
PARADIGMA DEFENISI DAN METODE SOSIAL
Sebagai suatu realitas sosial yang tumbuh dan/atau berkembang dalam komunitas, maka metode analisis terhadap masalah-masalah sosial tidak berbeda dengan metode analisis realitas sosial yang lainnya. Perdefinisi, metode analisis ini juga akan sangat tergantung pada pola hubungan antar variabelnya. Jika pola hubungannya bersifat kuantitatif, maka metode analisisnya juga harus bersifat kuantitatif. Begitu pula jika pola hubungannya bersifat kualitatif, maka metode analisisnya juga harus bersifat kualitatif. Berikut ini akan dijelaskan bagaimana prinsip-prinsip analisis terhadap masalah-masalah sosial secara kuantitatif.
1. Sebelum melakukan analisis, harus diketahui lebih dulu apa latarbelakang kita melakuk ananalisis. Diuraikan dan/atau dijelaskan mengapa analisis tersebut dilakukan dan apa arti pentingnya analisis tersebut dilakukan. Apakah analisistersebut untuk kepentingan akademis atau praktis? Dalam pemaparan latarbelakang analisis tersebut akan tampak, seberapa kuat dugaan-dugaan yang dikemukakan oleh penganalisis, bahwa masalah tersebut sebagai masalah sosial atau tidak.
2. Merumuskan tentang esensi masalah apa yang akan dianalisis. Dalam perumusan esensi apa yang akan dianalisis ini harus berisi pernyataan dari penganalisis. Biasanya dalam perumusan esensi masalah yang akan dianalisis ini akan dirumuskan dalam kalimat tanya.
3. Mengemukakan landasan teoritis yang digunakan untuk menganalisis masalah sosial. Teori adalah seperangkat pernyataan yang dinyatakan secara sistematis dan juga logis, yang didasarkan pada data empiris. Teori jelas berbeda dengan pendapat, pernyataan atau temuan lapangan dalamanali sis masalah sosial. Fungsi teori dalam analisis masalah sosial adalah sebagai pemandu, agar penganalisis memiliki bekal untuk melakukan analsis di lapangan.
4. Mengemukakan prosedur lapangan yang digunakan untuk melakukan analisis masalah sosial. Konsep operasional adalah konsep yang sudah diubah dari variabel menjadi konsep yang lebih realist ik untuk melakukan analisis masalah sosial.
Untuk penentuan lokasi analisis terhadap masalah sosial memang harus disesuaikan dengan apa unit analisisnya. Apakah masalah tersebut akan dianalisis pada unit individual, kelompok, struktur atau kultur. Seyogianya dikemukakan apa alasan-alasan empirisnya terutama yang berkaitan dengan masalah sosial yang diteliti. Pada analisis masalah sosial, biasanya untuk menentuan siapa narasumber akan dikaitkan dengan karakteristik masalah sosial yang dianalisisnya.
Untuk teknik pengumpulan data dalam analisis masalah sosial, biasanya akan menggunakan kuesioner yang terstruktur opsi jawabannya, agar data yang diperolehnya nanti mudah diolah secara kuantitatif. Untuk pembuatan kuesioner ini, ada prosedur tersendiri yang tidak boleh dilanggar, misalnya, harus benar-benar jelas variabel-variabel, indikator-indikator, dan pertanyaan-pertanyaannya. Kemudian lebih jauh daripada itu, harus juga benar -benar jelas bagaimana skema analisis datanya.
PARADIGMA PERILAKU SOSIAL
Membahas mengenai paradigm perilaku sosial secara khusus akan saya rujukkan sedikit kearah penyimpangan sosial atau perilaku menyimpang, sadar atau tidak sadar pernah kita alami atau kita lakukan. Penyimpangan sosial dapat terjadi dimanapun dan dilakukan oleh siapapun. Sejauh mana penyimpangan itu terjadi, besar atau kecil, dalam skala luas atau sempit tentu akan berakibat terganggunya keseimbangan kehidupan dalam masyarakat.
Suatu perilaku dianggap menyimpang apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat atau dengan kata lain penyimpangan (deviation) adalah segala macam pola perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri (conformity) terhadap kehendak masyarakat. Seseorang yang melakukan tindak penyimpangan oleh masyarakat akan dicap sebagai penyimpang (devian). Sebagai tolok ukur menyimpang atau tidaknya suatu perilaku ditentukan oleh norma-norma atau nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Setiap tindakan yang bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat akan dianggap sebagai penyimpangan dan harus ditolak.
Seorang pelaku penyimpangan senantiasa berusaha mencari kawan yang sama untuk bergaul bersama, dengan tujuan supaya mendapatkan teman. Lamakelamaan berkumpullah berbagai individu pelaku penyimpangan menjadi penyimpangan kelompok, akhirnya bermuara kepada penentangan terhadap norma masyarakat. Dampak yang ditimbulkan selain terhadap individu juga terhadap kelompok/masyarakat.
Antisipasi adala usaha sadar yang berupa sikap, perilaku atau tindakan yang dilakukan seseorang melaui langkah-langkah tertentu untuk menghadapi peristiwa yang kemungkinan terjadi. Jadi sebelum tindak penyimpangan terjadi atau akan terjadi seseorang telah siap dengan berbagai perisai untuk menghadapinya. Sebelum kita menemui penyimpangan sosial terjadi dalam masyarakat, secara pribadi individu hendaklah sudah berupaya mengantisipasinya. Namun, apabila penyimpangan sosial terjadi juga, kita masing-masing berusaha untuk mengatasinya.
0 comments:
Post a Comment